Syiah dan Kegagalan Mempropagandakan Imamah
Syiah dan Kegagalan Mempropagandakan Imamah
Abu
Bakar dan Umar meski memimpin dengan amanah, adil, jujur dan ihlas,
tidak dianggap sebagai khalifah Islam oleh kaum Syiah, tapi sebagai
perampok yang mengambil alih hak Ali sebagai pengganti Rasulullah
Oleh: Bahrul Ulum
MINGGU ini, umat Islam
Indonesia dihebohkan oleh status yang menamakan Emilia Renita AZ, istri
Jalaluddin Rahmat, yang menyatakan bahwa Tuhan kaum Syiah berbeda dengan
Tuhan umat Islam. Hal ini ia tulis dalam status akun Facebook Emilia Renita AZ yang diposting pada Selasa (04/10/2014).
Dalam statusnya, Emilia mengutip tokoh syiah Al-Gharawi yang mengatakan bahwa, “Tuhan
kita (syiah) adalah Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Ali, sedangkan
Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Muhammad maka bukan Tuhan kita.
Shollu ‘Ala Nabii……”
Namun kabar yang baru saya dapatkan, Emilia menampik jika status akun itu adalah miliknya. [Baca: Emilia Renita: Saya Tak Tanggapi Fitnah dan Akun Facebook Palsu ]
Sebenarnya pernyataan seperti itu bukan hal baru dalam ajaran Syiah. Dan tulisan ini tidak membahas soal akun asli atau palsu.
Selain Al-Ghawari juga ada tulisan ulama hadits kenamaan Syiah bernama Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi dalam kitabnya “Al-Anwar An-Nu’maniyyah” mengenai hal yang sama. Ia menulis,”Kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami”. (Nikmatullah Al-Jazairi, Al-Anwar An-Nu’maniyyah, Jilid II/ hal 278).
Selain Al-Ghawari juga ada tulisan ulama hadits kenamaan Syiah bernama Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi dalam kitabnya “Al-Anwar An-Nu’maniyyah” mengenai hal yang sama. Ia menulis,”Kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami”. (Nikmatullah Al-Jazairi, Al-Anwar An-Nu’maniyyah, Jilid II/ hal 278).
Kalau kita telaah kitab-kitab Syiah,
pernyataan seperti itu sebenarnya merupakan cerminan kegagalan Syiah
memprogandakan konsep Imamah. Mereka sangat kecewa dengan nash-nash
al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang ternyata tidak secara eksplisit
menerangkan tentang konsep tersebut.
Kekecewaan itu kemudian diantaranya dengan
menyalahkan Rasulullah karena dianggap menyembunyikan masalah tersebut.
Dalam hal ini Khumaini dalam bukunya menulis bahwa seandainya Nabi
Muhammad menyampaikan perkara Imamah sebagaimana yang Allah perintahkan
(padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini,
niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan
berkobar…..” [Khumaini, Kasyful-Asraar, hal. 155].
Tentu saja tuduhan Khumaini ini tidak
berdasar, karena Rasulullah telah menyampaikan semua ajaran yang
diterimanya dari Allah. Tidak ada satupun khabar atau informasi yang
beliau sembunyikan. Rasululah merupakan manusia yang paling takut kepada
Allah dibanding manusia lainnnya. Dalam hal ini Allah berfirman:“Hai
rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir”. (Al-Maidah (5): 670).
Ayat ini menurut para ahli tafsir sebagai jaminan dari Allah bahwa Rasulullah tidak akan terbunuh dalam menyampakaikan ajaran Islam. Beliau akan wafat setelah semua ajaran Islam tersampaikan kepada umat manusia.
Ayat ini menurut para ahli tafsir sebagai jaminan dari Allah bahwa Rasulullah tidak akan terbunuh dalam menyampakaikan ajaran Islam. Beliau akan wafat setelah semua ajaran Islam tersampaikan kepada umat manusia.
Ternyata Rasulullah Memilih Abu Bakar dan Umar
Kekecewaan kaum Syiah bukan saja mereka
tujukan kepada Rasulullah, tetapi juga kepada para sahabat beliau.
Mereka menuduh para sahabat telah merampas hak Ali dalam soal Imamah.
Ketiga khalifah sebelum Imam Ali, yaitu Abu Bakar, Umar dan Ustman
dianggap sebagai perampok yang merampas hak Ali dalm masalah
kekhalifahan.
Abu Bakar dan Umar meski memimpin dengan
amanah, adil, jujur dan ihlas, tidak dianggap sebagai khalifah Islam
oleh kaum Syiah, tapi sebagai perampok yang mengambil alih hak Ali
sebagai pengganti Rasulullah. (Nashir Abdullah Ibnu Ali al-Qofari, Ushul Mazhab Syiah, hal 825)
Karena alasan itulah hingga saat ini kaum
Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar. Sebagai bentuk kebencian
terhadap dua sahabat Rasulullah itu, mereka selalu melaknat keduanya
dalam do’a harian. Al-Kaf’ami dalam kitabnya al-Mishbah, menyebutkan doa
yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan dengan
Doa Shanamai Quraisy (doa atas dua berhala Quraisy).
Dia menyebutkan bahwa doa ini diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. “Ya Allah limpahkan
shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua berhala
Quraiys, dan kedua jibt dan thaghutnya (maksudnya: syetan yang disembah
selain Allah-Pent), kedua tukang dustanya, dan kedua putrinya yang
telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari wahyu-Mu.” (Taqiuddin
Ibrahim Ibnu Ali Husein ibnu Muhammad ibnu Shaleh al-Amili Kaf’ami, al-Mishbah, hal. 552)
Bahkan mereka menyalahkan secara total apa
yang dilakukan oleh khalifah sebelum Ali, yang menurut kaum Syiah
diangkat berdasar pemikiran atau persetujuan kaum muslimin. Bagi kaum
Syiah, cara seperti ini dianggap melawan atau menentang wasiat Nabi
Muhammad. Karena itu mereka menganggap ketiga khalifah sebelum Ali telah
murtad dan kafir. Demikian pula orang yang mengakui kekhalifahan mereka
juga dianggap sesat, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang
belakangan. ( al-Majalisi, Bihar al-Anwar, juz IV, hal. 385)
Berdasar keyakinan ini Syiah secara mutlak tidak mengakui kepemimpinan khalifah sebelum Ali karena mereka dipilih oleh manusia.
Padahal dalam persoalan kekhalifahan, Ali bin Abi Thalib tidak sebagaimana yang mereka yakini. Ali termasuk seorang sahabat yang tidak gila kekuasaan dan jabatan. Dalam kitab rujukan Syiah sendiri, yaitu Nahjul Balaghah, disebutkan bahwa Imam Ali menolak ketika akan diangkat menjadi khalifah/imam. Ia berkata: “Da’uuniy wal tamisuu ghairiy (Carilah orang selain aku)” (Sayid Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah 91)
Padahal dalam persoalan kekhalifahan, Ali bin Abi Thalib tidak sebagaimana yang mereka yakini. Ali termasuk seorang sahabat yang tidak gila kekuasaan dan jabatan. Dalam kitab rujukan Syiah sendiri, yaitu Nahjul Balaghah, disebutkan bahwa Imam Ali menolak ketika akan diangkat menjadi khalifah/imam. Ia berkata: “Da’uuniy wal tamisuu ghairiy (Carilah orang selain aku)” (Sayid Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah 91)
Demikian juga saat khalifah Umar hendak
wafat, beliau memilih 6 orang untuk melakukan syuro, supaya memilih
diantara mereka sebagai penggantinya. Kemudian 3 orang dari mereka
mengundurkan diri, lalu Abdurrahman bin Auf r.a. juga ikut mengundurkan
diri, tinggal Utsman r.a. dan Ali r.a. Dalam kondisi seperti ini Imam
Ali tidak mengatakan kepada mereka bahwa beliau telah menerima wasiat
kekhalifahan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam.
At-Thabarsy juga mengutip perkataan
Muhammad Al-Baqir bahwa Ali menetapkan kekhilafahan Abu Bakar, mengakui
akan keimanannya, turut mengangkatnya dengan kekuasaannya, sebagaimana
yang disebutkan bahwa Usamah bin Zaid yang mencintai Rasul tatkala ia
siap untuk berangkat, Rasul berpulang ke Al-Malaul A’la. Setelah ia
menerima pemberitahuan akan kewafatan Rasulullah, ia kembali bersama
pasukannya memasuki kota Madinah. Maka tatkala ia melihat bahwa manusia
mengangkat Abu Bakar, ia mendatangi Ali bin Abi Thalib dan bertanya:
“Apa ini?”. Ali menjawab: “Sebagaimana yang engkau lihat”. Berkata
Usamah: “Apakah engkau turut mengangkatnya(Abu Bakar)?. Ali pun
menjawab: “Iya”. (Abi Mansur Ahmad ibnu Ali ibnu Abi Thalib
al-Thabarasy, al-Ihtijaj, Juz I,/hal.115
Adapun Ali yang terlambat membai’at Abu
Bakar, diterangkan oleh ulama Syiah sendiri yaitu Ibnu Abil Hadid:
“Kemudian berdiri Abu Bakar, berpidato kepada orang banyak dan
menyatakan keuzurannya, berkata: “Sungguh pengangkatan saya adalah
kekhilafan, mudah-mudahn Allah menghindarkan akan bahayanya. Aku takut
akan fitnah, Demi Allah. Aku tak pernah menginginkannya walau hanya satu
hari, aku sudah diserahi tugas yang amat berat lagi besar, aku merasa
tak kuat dan tak mampu, aku ingin agar ada orang yang lebih kuat yang
menggantikanku.’ Begitulah Abu Bakar mengakui keberatannya. Golongan
Muhajirin menerima keberatan itu dan berkata Ali dan Zubair: “Kita tidak
marah, kecuali melalui musyawarah, dan kami memandang Abu Bakar manusia
paling berhak dengan pengangkatan itu, karena ia adalah teman Rasul di
dalam gua, kami mengetahui pengalamannya, dan ialah yang diperintahkan
Rasul untuk menggantikan beliau untuk memimpin shalat di saat Rasul
masih hidup”. ( Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, juz II, hal.50).
Pernyataan Imam Ali ini menunjukkan bahwa
ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar. Jika kekhalifahan harus berdasar
nash, tentu ia tidak akan mengakui kekhalifahan Abu Bakar.
Demikian juga para sahabat yang lain telah
sepakat bahwa tidak ada wasiat dari Rasulullah mengenai Ali bin Abi
Thalib sebagai pengganti beliau. Disamping itu seandainya memang benar
Nabi SAW bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah
beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh
Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataan-Nya/janji-Nya.
Bahkan ironisnya ada riwayat dari kitab
Syiah yang dengan jelas menerangkan Rasulullah memberi tahu Khafsah,
salah satu istrinya bahwa yang menggantikan beliau sebagai khalifah
adalah Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan oleh al-Majlisi dan lainnya dari
Imam Ja’far Shadiq berkata “Ketika nabi membisikkan kepada sebagian
istrinya, yaitu Khafsah. Berkata Shadiq, ‘Dia telah ingkar dengan
perkataanya’ ……..”Sesungguhnya Rasulullah memberi tahu Khafsah
bahwasanya ayahnya (yaitu Umar bin Khatab) dan Abu Bakar Shidiq nanti
bakal memimpin setelah beliau.” Maka keduanya (Abu Bakar dan Umar)
mempercepat kematian Nabi dengan memberi racun. Lalu Allah memberitahu
Nabi atas perbuatan kedua orang itu.” (Al-Majalisi, Biharul Anwar, Juz XXII/hal 246)
Meski riwayat tersebut dimaksudkan untuk
mencela Abu Bakar dan putrinya serta Umar dan putrinya yang akan
meracuni Rasulullah, namun penulis riwayat ini kurang jeli sehingga
memasukkan cerita tentang Rasulullah yang memberitahu Khafsah bahwa
ayahnya Umar dan sahabatnya Abu Bakar akan menjadi pemimpin atau Imam.*
Penulis adalah Sekretaris Umum Majelis Intelekual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda